Sepenggalinfo.com – Ketika menghadiri Jumpa Penulis Bengkulu beberapa hari lalu. Tentunya banyak sekali hal dan pelajaran yang saya dapatkan mengenai kepenulisan. Satu per satu, kata demi kata saya simak dengan seksama. Pengetahuan dan pembelajaran saya dapatkan dan akan saya bagi dengan teman-teman pembaca semuanya.
Penulis
Dunia kepenulisan sudah menjadi sebagian dunia saya pada saat ini. Sedikit tidaknya saya sudah mengetahui seluk beluk kepenulisan, mulai dari menulis awam, sampai dengan menerbitkan karya. Teori memang mudah, namun real di lapangan? Belum tentu.
Saya mulai termotivasi sekali ketika pertama kali saya menghadiri Jumpa Penulis ini, yang hampir sebagian dari penulisnya sudah senior dan berkeluarga. Saya sangat menyayangkan sekali ketika anak muda, Bengkulu khususnya kurang berminat dalam kepenulisan.
Kalau berbicara mengenai mereka, senior yang sudah berpengalaman tentunya dan banyak melahirkan karya sudah menjadi hal yang biasa. Setidaknya pengalaman mereka, mengingat umur juga bisa kita apresiasi dan memang “wajar-wajar saja”. Saat mereka memberikan sedikit motivasi kepada kami tentang menulis yang menghasilkan. Mereka sudah memberikan bukti dan contoh nyata. Tapi dalam hati kecil saya “belum puas” dengan motivasi itu. Saya memang sangat termotivasi, namun saya katakan sekali lagi, hal itu “wajar-wajar saja”.
Bagaimana dengan penulis muda yang banyak melahirkan karya dan menginspirasi?
Ini yang menjadi permasalahan. Minimnya minat anak muda dalam dunia kepenulisan. Andai saja ada banyak anak muda yang masih sekolah ataupun mahasiswa, yang sukses dengan menulis, yang tidak perlu meminta uang dari orang tua lagi. Andai dunia seindah itu? Mungkin anak muda itulah yang bisa sangat mnginspirasi saya.
Namun beginilah kenyataanya. Hal inilah mungkin yang mendorong saya untuk kembali berjuang dalam kepenulisan. Para penulis senior Bengkulu, di tengah kesibukan mereka bekerja dan merawat anak-anaknya, masih sempat melahirkan banyak karya. Sedangkan kita anak muda, yang hampir tidak ada beban berat yang harus diurus. Tetapi mengapa tidak ada pergerakan menuju kesuksesan dan bisa menginspirasi lewat literasi?
Menulis adalah hal yang sangat mengasyikkan, asal kita bisa meluangkan waktu, bukan saat kita punya waktu luang.
Saya rasa kita semua, mahasiswa terutama. Banyak memiliki waktu luang namun tidak pintar mengelolah dengan baik. Waktu yang diberikan lumayan banyak, bahkan bisa kita manfaatkan untuk hal-hal berguna dan menghasilkan. Tapi kenyataanya, kita terlena akan kenikmatan dan melupakan kesempatan. Padahal ada banyak kesempatan yang bertebaran di sekitar kita.
Saya terkejut saat ada salah satu senior yang menceritakan tragedi tentang penulis. Dan perkataan Beliau berhasil menyinggung hati saya. Beliau membahas mengenai tragedi penulis pemula yang sama persis dengan saya.
Seseorang yang ingin menjadi penulis “di paksa” menyelesaikan naskah dalam kurun waktu tiga bulan. Alhasil karya yang sudah terbit, terlalu malu untuk di jual dan di promosikan ke orang lain. “Untuk apa membuat karya kalau tidak ingin dibaca?” itu kata Beliau.
Dan selanjutnya karya tadi hanya diberikan kepada yang berminat saja, dan akhirnya tertumpuk manis didalam kardus. Dan lebih parahnya lagi, setelah mendapat title “penulis”, seseorang itu berhenti menulis.
Itulah tragedi seorang penulis, yang sama persis dengan saya. Dulu saya sangat tertarik sekali menjadi penulis. Dengan semangat menggebu-gebu saya mengikuti pelatihan, sampai akhirnya diharuskan menulis naskah selama satu bulan.
Naskah saya selesai dengan waktu yang tepat, selama satu bulan. Tetapi saya menulis dengan alah kadarnya, dan biasa-biasa saja. Setelah satu tahun jarak waktu selesai naskah dengan penerbitan, akhirnya buku pertama saya terbit. Novel yang berjudul Assalamu’alaikum Aktifis!.
Siapa yang tidak bangga dengan karya pertama?
Namun yang saya alami sesuai dengan cerita Beliau tadi. Sesudah terbit, saya merasa malu untuk mempromosikan kepada orang lain. Karena bagi saya, novel saya masih kurang layak menjadi konsumsi publik. Bahasa yang acak-acakan, dan tidak bisa menggambarkan suasana. Dan pada akhirnya sesudah beberapa bulan buku saya terbit, saya malas untuk menulis kembali. Saya sudah mengacuhkan blog saya, serta tidak rutin untuk menulis.
Begitulah cerita Beliau yang sudah memiliki banyak pengalaman bertemu dengan penulis-penulis seperti saya. Ternyata banyak penulis pemula yang bernasib sama seperti saya, yang memiliki satu tragedi pahit. Saya tidak sendiri, namun mempunyai teman yang bernasib sama bukanlah hal yang baik dan patut dibanggakan.
Tak terbiasa menulis
Berpindah ke senior berikutnya yang juga memberikan stimulasi kepada kami yang masih pemula dalam kepenulisan. Senior satu ini memberikan selembar kertas kepada kami masing-masing. Beliau menyuruh kami untuk menuliskan sepuluh buah buku yang sudah dibaca selama hidup ini. Tantangan yang cukup mudah, namun saya saja hanya berhasil menuliskan enam buku. Itupun ada yang lupa dengan judulnya.
Sebenarnya sudah banyak buku yang saya baca, mulai dari novel maupun pengetahuan lainnya. Namun karena ketidakpedulian itu membuat saya melupakan semua yang saya baca. Itulah saya hanya menyebutkan enam judul buku. Satu menit diberikan untuk menuliskan judul buku. Lanjut ke satu menit lagi untuk menuliskan sepuluh nama pengarang yang pernah kita tahu. Itupun saya gagal dalam menuliskannya.
Intinya adalah Beliau memberikan kami sebuah tes kecil-kecilan yang kesimpulannya adalah, tangan kita kaku untuk menulis. Tangan dan juga otak kaku untuk menuangkan sesuatu dalam tulisan. Itulah yang terjadi dengan saya. Terlalu lama sudah tidak membiasakan menulis, untuk menulis beberapa kalimat saja rasanya enggan dan kaku.
Pelajaran yang luar bisa saya dapatkan tentunya mengenai kepenulisan kemarin. Termotivasi untuk menulis kembali. Termotivasi untuk menjadi apa yang saya andaikan tadi.
Bengkulu, 17 April 2017 2:26 pm
dolph.