Penulis : M. Fikran Pandya – Mahasiswa Psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
Sepenggalinfo – Kesehatan mental selalu menjadi perhatian dikalangan sosial masyarakat. Mental menjadi persoalan serius terhadap keberlangsungan kehidupan. Tidak sedikit banyak orang-orang yang mengalami mental bermasalah, baik itu disebabkan persoalan sosial, akademik, maupun hal lainnya. Survei WHO tahun 2016 membuktikan bahwa lebih dari 450 juta orang secara internasional didiagnosis menderita masalah mental.
Mayoritas orang yang memiliki masalah mental berisiko mengalami stigma dan diskriminasi dalam bidang sosial, peluang pekerjaan, dan akses terhadap layanan kesehatan. Baltar dkk., (2021) dalam penelitian yang dilakukan di Spanyol mengungkapkan bahwa awal dari munculnya masalah mental pada seseorang disebabkan karena faktor depresi. Depresi menjadi gangguan kejiwaan yang secara signifikan menurunkan kualitas kehidupan yang dipandang sebagai akibat dari tekanan faktor psiko-sosial, melibatkan suasana hati tertekan atau kehilangan kesenangan dan minat dalam jangka waktu yang lama.
Menurut data dari WHO, (2021) mensurvei sekitar 280 juta orang di dunia mengalami depresi, hal itu pun terjadi 50% lebih umum pada wanita dibandingkan pria. WHO juga menunjukkan bahwa depresi menjadi gangguan kesehatan mental yang konsisten bertahan dalam 10 penyebab teratas beban penyakit diseluruh dunia. Namun, prevalensi depresi tidak hanya terjadi pada orang dewasa saja, anak-anak, remaja, bahkan lansia juga memiliki risiko mengalami depresi. Data dari WHO, (2021) menunjukkan 3,8% populasi mengalami depresi, termasuk 5% orang dewasa (4% pada pria dan 6% pada wanita), dan 5,7% orang dewasa berusia lebih dari 60 tahun.
Temuan lainnya bahwa semakin tua seseorang, makin rentan pula mengalami depresi. WHO, (2021) mengemukakan orang dewasa menyumbang 6,6% dari total kecacatan (DALYs) untuk kelompok usia ini. Sekitar 15% orang dewasa berusia 60 tahun ke atas menderita gangguan mental namun mayoritas dialami oleh perempuan. Selain dituntut oleh sistem sosial di ranah domestik, tuntutan pekerjaan untuk pendapatan keluarga, mengurus rumah tangga, perceraian, konflik antar pasangan dan kekerasan dalam rumah tangga, apalagi di kalangan kelompok miskin menjadi alasan kuat kerentanan depresi pada perempuan yang bisa dilacak pada budaya patriarki.
Senada dengan itu, Kaya & Tanrıverdi, (2023) yang merupakan peneliti asal Turkiye menjelaskan bahwa depresi disebabkan karena pengalaman PTSD (post traumatic disorders), seperti korban pelecehan, kehilangan yang parah, atau peristiwa-peristiwa yang membuat stress, namun ada juga yang beranggapan bahwa depresi sebagai penyakit neurobiologis yang disebabkan oleh ketidakseimbangan kimiawi di otak yang memerlukan obat-obatan. Riset IHME (Insititue for Health Metrics and Evaluation) pada tahun 2019 juga memperkuat bahwa pada kelompok usia 15-49 tahun, pelecehan seksual masa kanak-kanak dan bullying menjadi kontributor risiko lebih tinggi dibandingkan lainnya. Sedangkan pada kelompok usia 70+, kekerasan dari pasangan lebih mendominasi kontributor depresi.
Depresi sudah menjadi gangguan jiwa yang berhubungan dengan peningkatan risiko penyakit fisik. Secara global, 14.3% dari seluruh kematian (8 juta kematian) disebabkan oleh gangguan mental (termasuk depresi) setiap tahunnya, dengan 67.3% dari kematian tersebut disebabkan oleh penyakit fisik, 17.5% kematian karena sebab yang tidak wajar seperti bunuh diri. Disamping itu, lebih dari 700.000 orang meninggal karena bunuh diri setiap tahun ya. Bunuh diri menjadi penyebab kematian keempat pada kelompok usia 15-29 tahun (Campion et al., 2022).
Fakta yang mendasarinya adalah 80-90% individu yang mengalami depresi akhirnya melakukan bunuh diri. Data WHO tahun 2019 bahwa setiap tahunnya, sekitar 800.000 orang meninggal karena bunuh diri, kejadian ini terjadi setiap 40 detik atau sekitar 78% di negara-negara berpendapatan rendah dan menengah. Prevalensi depresi mencapai angka tertinggi di kawasan Asia Tenggara, yakni mencakup 86,94 (27%) dari 322 miliar jiwa. Lebih lanjut, penelitian di Polandia menemukan bahwa 12,1% orang dewasa memiliki pikiran untuk bunuh diri, 4,0% berencana bunuh diri, dan 4,1% memiliki riwayat percobaan bunuh diri, terutama pada individu dengan latar belakang depresi.
Dalam konteks Indonesia sendiri menduduki peringkat kelima dengan angka kejadian depresi sebesar (3,7%) menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2019). Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), terjadi peningkatan signifikan pada prevalensi gangguan kesehatan jiwa ( depresi dan kecemasan) di Indonesia dari 6% pada tahun 2013 menjadi 9,8% pada tahun 2018. Hasil Riskesdas tahun 2018 menunjukkan bahwa 6,1% penduduk Indonesia yang berusia ≥15 tahun mengalami depresi (Kemenkes, 2018). Di Indonesia, angka bunuh diri berkisar 4,5% dari 100.000 penduduk (BPS, 2023). Data Mabes Polri pada tahun 2012 mencatat sekitar 0,5% dari 100.000 penduduk mengalami kasus bunuh diri, sekitar 1.170 kasus bunuh diri terjadi setiap tahunnya (Kemenkes, 2018). Hasil penelitian (Omnia et al., 2023) menunjukkan bahwa dari mereka yang melaporkan pemikiran untuk bunuh diri, 33,4% telah membuat rencana konkrit, sementara 33,9% dari kelompok.
Oleh karena itu, bahaya depresi tidak bisa disepelekan, banyak data memaparkan akan bahaya dari gangguan tersebut. Oleh karenanya, penting bagi kita sendiri untuk bisa membuka diri untuk saling cerita akan masalah mental yang kita miliki dan jangan menutup diri dari orang-orang yang terindikasi mengalami gangguan mental bahkan depresi. Tetap stay health and strong mentality.