Berdenting bunyi suara yang aku hiraukan, berbunyi burung seakan langit tak ku perhatikan. Melaju ia menggapai puncak yang didamba.
Meragu aku memandang dermaga, seakan tak bernyawa. Termenung dengan seribu kenangan, tak dapat menahan hujan yang mulai bergelinangan.
Harapan mulai menjadi impian tak bertuan.Seakan kenyataan hanya untuk melukis kepedihan.
Akan kah berakhir dengan menarik napas senyuman, atau perhentian napas yang menyedihkan. Sungguh malang seakan dilukisi kepedihan, bukankah lukisan itu kamu sendiri yang mentukan warnanya?
Tidak, aku tak begitu kuat memegang kuas, tanganku gemetaran. Ia semakin menunjukkan indah lukisannya. Aku hanya setia dengan hujan derita. Warna lukisan ku semakin hari semakin tak karuan.
Sekejab terlintas, ingin berhenti tapi mata mulai memberontak kepada tangan. “Bukankah warna yang kamu gores itu indah, di lihat disisi berbeda”.
Tak mungkin warna yang diberi sama dengan yang lain. Hanya saja aku terlena, seakan punyaku setumpuk debu yang tak berguna.
Suara dentingan mulai terdengar, aku gugup tak dapat selesai dengan harapan. Sungguh denting mulai tak bersahabat, aku membencinya.
Tapi bukankah denting tak mengenal, hanya lewat untuk menyapa “sudah selesai atau usai”.
Penulis : Luvi Liniarti