Apa yang hilang hari desa-desa Kita?

ada yang hilang dari desa desa kita?

“Bila dilihat sekilas, desa-desa kita memang tampak maju. Namun bila dibandingkan dengan dulu, desa-desa sebenarnya stagnan dan bahkan mengalami kemunduran. Ada yang hilang dari desa-desa kita yang selama ini tidak kita sadari.“ (H. Yusran, Tua Adat Desa Dusun Baru, Kecamatan Ilir Talo, Kabupaten Seluma, Bengkulu)

 

Advertisement
Scroll kebawah untuk lihat konten

Pernyataan tentang kondisi desa disampaikan H. Yusran di luar forum diskusi tentang perlindungan aset desa dan ruang hidup masyarakat yang dilaksanakan Institute Ecosoc di ruang pertemuan Kecamatan Ilir Talo, Kabupaten Seluma, Bengkulu. Di luar forum diskusi itu ia sedikit mengoreksi pendapat para kepala desa yang cenderung melihat kondisi desa hanya dari aspek ekonomi. Secara ekonomi, menurutnya, desa-desa sekarang memang tampak lebih maju. Namun mereka tak menyadari ada hal penting yang hilang dari desa, yaitu aspek sosial budaya. Siapakah H. Yusran dan apa yang membuatnya melihat desa dengan sudut pandang yang berbeda dengan sudut pandang para pemangku desa pada umumnya?

Yusran adalah tua adat dan mantan guru SD yang selama hidupnya bekerja bersama masyarakat. Ia hadir dalam diskusi mewakili tokoh masyarakat dari Desa Dusun Baru. Sebelum tinggal di Desa Dusun Baru, H. Yusran lama tinggal di Desa Nanti Agung. Lelaki kelahiran 1947 itu tampak fasih saat bicara tentang berbagai perubahan yang terjadi di desa. Tidak heran bila H. Yusran paham dengan kondisi masyarakat desa dari waktu ke waktu. Sebab selain menjadi tua adat, H. Yusran adalah juga guru SD yang akrab dengan kehidupan masyarakat desa. Sejak 1970 hingga 2009 ia bekerja sebagai guru SD dan tiga kali dipindahtugaskan di desa-desa yang berbeda.

Sebagai guru, H. Yusran berpegang teguh pada cita-cita dan profesinya sebagai guru. Ia beberapa kali menolak untuk diangkat menjadi kepala sekolah dan penilik sekolah karena ia memang hanya mau menjadi guru.  Keinginannya untuk menjadi guru sudah ia rasakan sejak bekerja di rumah sakit di tahun 1960-an. Tiga tahun ia sempat bekerja di rumah sakit. Karena merasa tidak cocok, ia memutuskan untuk keluar dan mengembalikan SK Pengangkatannya sebagai PNS. Kemudian ia merantau dan bekerja sebagai buruh di kebun kopi. Jalan itu ia ambil guna mendapatkan uang untuk membiayai pendidikannya di bidang keguruan. Ia menempuh pendidikan sekolah guru agar bisa menjadi guru SD.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.